ARTIKEL UNGGULAN
KAJIAN POLITIK : KEPEMIMPINAN WANITA DALAM URUSAN UMUM
- Get link
- Other Apps
KAJIAN POLITIK TERKAIT
Kepemimpinan
Wanita Dalam
Urusan Umum
A. Pendahuluan
Problematika paling penting yang menghadang kita dewasa ini adalah problema wanita untuk berperan aktif dalam urusan umum. Olehnya itu di dalam makalah ini akan diuraikan tentang kepemimpinan wanita dalam urusan umum.
B.
Kepemimpinan Wanita dalam Urusan Umum
Matan Hadis
Takhrij Sanad Hadis
Hadis tersebut ditakhrijkan lewat beberapa jalur,
antara lain :
a.
Al-Bukhari dalam ¢ahih
al-Bukhary, memuat 2 riwayat, yaitu pada bagian al-Mag±ziy, bab Kit±b
al-Nab³ ila Kisr± wa Qaisir, dan pada bagian al-Fitan, bab al-Fitnah allat³
Tamaju Kamju al-Bahri.
b.
Al-Turmu©y dalam Sunan
al-Turmu©y, memuat 1 riwayat, yaitu pada bagian al-Fitan ‘an Rasulillah, bab M±
J±a fi an-Nahyi ‘an Sab al-Riy±h.
c.
Al-Nas±iy dalam Sunan
al-Nas±iy, memuat 1 riwayat, yaitu pada bagian Ad±b al-Qud±t, bab al-Nahy ‘an
Isti’m±l al-Nis±i fi al-Hukm.
d.
Ahmad bin Hanbal dalam Musnad
Ahmad bin Hanbal, memuat 6 riwayat, yaitu pada bagian Awwalu Musnad
al-Ba¡rayaini, bab Hadi£ Abi Bakrah Nufa’i ibn al-Hari£ ibn Kaldah.
1.
Kualitas Hadis
yang Ditakhrij
Setelah melihat skema di atas, maka penulis memilih
jalur sanad diriwayatkan
oleh al-Bukhary dari ‘U£m±n bin al-Hai£am, dari ‘Auf, dari al-Hasan dari Abi
Bakrah.
Adapun
untuk menentukan kualitas hadis yang ditakhrij, maka kritikus hadis yang
memberikan kredibiiitis periwayat hadis yang berjalur al-Bukhary, antara lain:
a. Bukh±ry[1]
(Periwayat V / Sanad I)
Nama aslinya ialah Muhammad bin Ism±il, sedang
kakeknya bernama Ibr±him. Panggilan (kuniyah) nya ialah Abu Abdullah.
Beliau dilahirkan pada hari Jum’at, 13 Syawal 194 H di Bukhara. Dari tempat
kelahirannya itu ia dinisbatkan, untuk selanjutnya dimasyhurkan dengan nama
Bukhary. Ayahnya bernama Ismail, terkenal sebagai seorang ulama yang saleh.
Bukhary meninggal pada usia 62 tahun di Kharantak daerah Samarkand pada malam
Sabtu setelah shalat Isya, bertepatan dengan malam terakhir bulan Ramadhan
tahun 256, dan dimakamkan keesokan harinya (pada hari Idul Fitri) setelah
shalat ¨uhur.
Bukhary adalah seorang ulama hadis yang dikaruniai
kekuatan ingatan dan kecerdasan serta ketelitian yang cukup hebat, khususnya
yang berkaitan dengan hafalan hadis. Banyak ulama yang takjub dengan kelebihan
Bukhary tersebut. Dalam melakukan perlawatan ilmiah, Bukhary mengunjungi beberapa
negeri tempat para ahli hadis dan selainnya berada. Negeri tersebut selain
Mekkah dan Madinah ialah Mesir, Syam, Kufah, Basrah, Bagdad, Naishabur, Balakh,
Marwa dan Ray. Pada negeri-negeri tersebut masing-masing terdapat ahli hadis
tempat Bukhary berguru. Selain itu, Bukhary juga memperoleh hadis dari
guru-guru lain yang jumlahnya lebih dari seribu orang, termasuk ‘U£m±n bin al-Hai£am. Setiap guru tersebut
diberi penilaian yang jujur dan tanpa pilih kasih untuk menetapkan dapat atau
tidaknya diterima hadis-hadis yang mereka riwayatkan.
Disamping
terkenal sebagai penghafal hadis, Bukhary juga terkenal sebagai pengarang yang
produktif. Di antara karyanya yang menumental ialah al-Jami’ al-¢ahih,
al-Tarikh al-Kabir, Kit±b al-‘Ilal dan
Kit±b al-¨ua’afa.
Para
ulama terkesan dengan kecerdasan yang dimiliki Bukhary, antara lain:
-
Ibnu Huzaimah, mengatakan bahwa
tidak ada orang di permukaan bumi ini yang pengetahuannya hadisnya melebihi
Bukhary.
-
Abu Bakar al-Kalu©ani, berkata:
saya tidak pernah melihat orang seperti Muhammad bin Ismail, ia mengambil ilmu
dari suatu kitab, sekali ditelaahnya ia dapat hafal seluruh hadis yang ada.
-
Muhammad ibn Hatim, mengatakan:
saya pernah bertanya kepada Abu Abdillah, apakah engkau hafal semua yang telah
engkau susun dalam kitab?, jawabnya: tidak ada yang tersembunyi pada saya semua
yang terdapat di dalamnya.
Dari
segenap kesan yang disampaikan oleh para ulama kritikus hadis tersebut cukup
memberikan isyarat bahwa Bukhary adalah periwayat hadis yang kredibilitasnya
tidak diragukan. Dengan demikian pernyataannya bahwa ia menerima hadis tersebut
dari ‘U£m±n bin al-Hai£am dengan menggunakan ¡igat حدثناdapat dipercaya, dan hal
itu menunjukkan ketersambungan sanad antara keduanya.
b.
‘U£m±n
bin al-Hai£am[2]
(Periwayat IV / Sanad II)
Nama
lengkapnya adalah ‘U£m±n bin al-Hai£am bin Jahm bin ‘Is± bin Hass±n bin
al-Mun©ir. Kuniyahnya adalah Abu Amr. Dilahirkan di Bashrah. Beliau
adalah periwayat senior pada tingkat tabi’ tabi’in yang wafat pada tahun 220 H.
Beliau
meriwayatkan hadis dari beberapa guru, seperti: Abdul Malik bin Abdul Azis bin
Jarij (Abu Walid), ‘Auf bin Abi Jam³lah (Abu Sahal). Sedangkan murid-muridnya,
seperti: Muhammad bin Yahya Abdullah bin Khalid bin F±riz bin ªuaib (Abu
Abdillah), Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mug³rah bin Bardzbah (al-Bukhary).
Para
ktikus hadis telah memberikan kredibilitas, seperti Abu H±tim, al-S±jiy, Ahmad
bin Hambal, ad-D±ruqu¯niy menilai bahwa dia ¡adq, dan Ibnu Hibb±n menilainya
dia £iq±h.
c.
Periwayat III (Sanad III) = ‘Auf
bin Abi Jam³lah al-Abdiy al-Hajariy Abu Sahal al-Ba¡riy al-Ma’ruf bi
al-‘Arabiy, telah diberikan kredibilitas oleh:
-
Abu H±tim : Dia ¡udq
¡±lih
-
An-Nasai : Dia £iq±h
£abt
-
Al-Walid bin Utbah dari Marwan ibn
Mu’awiyah : Dia ¡udq
-
Muhammad bin ‘Abdillah al-Ansariy
dari ‘Auf : Dia ¡udq
-
Ibn Sa’ad : ¤iqah ka£ir
al-hadi£[3]
d. Periwayat
II (Sanad IV) = Al-Hasan bin Abi al-Hasan Yas±ra al-Ba¡ry, Abu Sa’id Maula
al-Ansary, telah diberikan kredibilitas oleh:
-
Anas bin Malik : Hasan
adalah seorang hafi§
-
Sulaiman al-Tam³miy : Dia
syaikh dari Basrah
-
Muhammad Sa’ad : Hasan
adalah j±mi’, ‘alim, rafi’, faqih, £iq±h, maunah, ‘±bid, n±sik, ka£ir al-ilm,
fa¡ih, jamil, wasim.[4]
e. Periwayat
I (Sanad V) = Nufa’i bin al-H±ri£ bin Kaldah (Abi Bakrah). Dia adalah seorang
sahabat yang menerima langsung dari Rasulullah saw.[5]
Berdasarkan peringkat kualitas periwayat yang
diberikan oleh para kritikus hadis seperti kalimat ¡udq, ¡udq ¡±lih, £iq±h, £iq±h
£abt dan lain-sebagainya terhadap periwayat hadis jalur al-Bukhary dan tidak
satu pun kritikus hadis yang memberikan peringkat kazzab, «aif dan sebagainya,
maka penulis dapat menyimpulkan bahwa kualitas hadis melalui jalur al-Bukhary
adalah ¡ahih.
2. Biografi Sahabat
Nama lengkap Abi Bakrah adalah Nufa’i bin al-H±ri£ bin
Kaldah bin ‘Amr bin ‘Al±j bin Abi Salmah bin ‘Abdi al-Uzza bin Girata bin ‘Auf
bin ¤aqifa al-¤aqafiy. Dia dipanggil pula dengan nama Ibn Masrh, Maul±
al-Hari£ bin Kaldah. Lahir di Basrah dan wafat di Basrah pula pada tahun 52
H. Ibunya bernama Samiyyah, bertetangga
dengan al-H±ri£ bin Kaldah, dia bersaudara dengan Ziy±d bin al-H±ri£ bin
Kaldah.[6]
Abi Bakrah adalah salah seorang hamba yang dimerdekakan oleh
Rasulullah saw. dan menjadi salah seorang sahabat yang mulia. Dia juga termasuk
ahli ibadah sampai wafatnya dan anak-anaknya atau keturunannya termasuk
orang-orang yang terhormat di Basrah karena kaya dan pandai.[7]
Dia
adalah salah seorang sahabat yang meriwayatkan hadis langsung dari Rasulullah
saw., dan memiliki banyak murid, antara lain: Ibr±him bin ‘Abdi al-Rahman bin
‘Auf (Abu Ish±q), Asy’a£ bin ¤armalah, Bahar bin Mir±r bin ‘Abdi al-Rahman bin
Abi Bakrah (Abu Mu’a©), ¤abit bin Aslam (Abu Muhammad), al-Hasan bin Abi
al-Hasan Yus±ra (Abu Sa’³d), Ham³d bin ‘Abdi al-Rahman, Raba’iy bin
Har±sy bin Jahasy (Abu Muraim), Raf³’
bin Mahr±n (Abu al-‘²liyah), Ziy±d bin Kusaib, Sa’ad bin Ibr±h³m bin ‘Abdi
al-Rahman bin ‘Auf (Abu Ish±q), Sa’id bin Abi al-Hasan, al-¬uh±k bin Qais bin
Mu’±wiyah bin Hu¡ain (Abu Bahri), °alhah bin ‘Abdillah bin ‘Auf (Abu
‘Abdillah), ‘Abdi al-Rahman bin Abi Bakrah Nufa’i bin al-Hari£ (Abu Bahri),
‘Abdi al-Rahman bin Jausyan, Abdi al-Rahman bin Mal bin Umar (Abu U£m±n), Abdi
al-Aziz bin Abi Bakrah Nufa’i bin al-Hari£, ‘Uqbah bin ¢uhb±n, Kaisah binti Abi
Bakrah, Muhammad bin Sairaini Maul± Anas bin Malik (Abu Bakar), Muslim bin Abi
Bakrah bin al-Hari£, Bil±l bin Baq¯ar, Maul± li Abi Bakrah al-¤aqafiy, ‘Iy±«
bin Mas±fi’, dan ‘Ubaidillah bin Abi Bakrah.[8]
3. Asbab al-Wurud Hadis
Adapun asbab al-wurud hadis ini berkaitan dengan peristiwa pengangkatan seorang wanita sebagai ratu (pemimpin) di Persia.
Kakek Buwaran adalah Kisra bin Barwaiz bin Anusyirwan. Dia pernah dikirimi surat ajakan memeluk Islam oleh Nabi Muhammad. Kisra menolak ajakan itu, bahkan merobek-robek surat Nabi tersebut. Ketika Nabi menerima laporan bahwa surat beliau telah dirobek-robek, maka Nabi bersabda: bahwa siapa saja yang telah merobek-robek suratku, dirobek-robek (diri dan kerajaan) orang itu.[9] Telah berselang lama, kerajaan Persia lalu dilanda kekacauan dan berbagai pembunuhan yang dilakukan oleh keluarga dekat kepala negara.
Namun sebelum ayahnya dibunuh yaitu Harmaz, dia mengetahui bahwa anaknya akan berusaha membunuhnya, maka dia memberi tahu seseorang ketika nantinya dia telah terbunuh. Tak lama kemudin sekitar 6 bulan, Ibn Buwaih juga meninggal. Lalu tidak didapatkan seseorang laki-laki keturunan raja, maka diangkatlah Burawan bin Syairawaih bin Kisra bin Barwaiz sebagai ratu (kisra).[10]
4. Arti Kosakata dan Penjelasan Dalil Naqli dan Dalil Aqli
Adapun kosakata pada matan hadis yang dianggap penulis
cukup penting untuk diberikan penjelasan adalah:
Kata يفلح , berasal dari akar kata فلح,
kemudian ditasrib menjadi fi’il mudhari يفلح sepertiفلح – يفلحyang berarti mengerjakan, memperdayakan, berhasil
(sukses), kejayaan, kemenangan, kebahagiaan.[11]
Dalam Kamus Lis±n al-Arabi, kata فلح sinonim
dengan الفوز (keberuntungan), النجاة (kesuksesan), البقاء فى النعيم (senantiasa dalam kenikmatan), الخير (kebaikan).[12]
Berhubungan dengan pengertian tersebut ketika kata يفلح ditambah
dengan huruf لن yang berarti tidak akan pernah, maka kata لن يفلح itu berarti jangan sekali-kali memberikan
pekerjaan, memperdayakan, tidak akan pernah berhasil, tidak akan pernah jaya,
tidak akan pernah mendapatkan kemenangan dan kebahagiaan.
Kata أمرهم berasal dari kata أمر yang
berarti menyuruh atau memerintah. Kata أمر memiliki
lima makna dasar, yaitu الأمر
من الأمور (perintah melakukan), الأمـر ضـد النـهـي (perintah lawan larangan), الأمر النماء
والبركة بفتح الميم (perbuatan yang meningkat), المعـلـم (petunjuk/jalan), dan العجب (keajaiban).[13]
Berdasarkan pengertian kosakata di atas bahwa ketika
digabungkan, maka akan berarti tidak akan pernah sukses ketika menyuruh seorang
wanita memegang tampuk pemerintahan.
Hadis tersebut ini dapat dihubungkan dengan dalil
naqli yang menyebutkan QS al-Nis± (4) : 34
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ
اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ ...
Terjemahnya:
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita) …”[14]
Selanjutnya dengan melihat realitas sejarah tentang kenabian bahwa seorang Nabi atau Rasul itu sangat memerlukan keteguhan hati dan kekuatan untuk menyampaikan risalah Tuhan kepada umat manusia. Berdasarkan tanggung jawab yang besar ini maka tidak didapatkan seorang perempuan yang diangkat oleh Allah sebagai Nabi atau Rasul.
5. Pendapat/Tanggapan Ulama dan Metode Pendekatan yang Digunakan
Pemimpin dalam Islam bukan penguasa yang terjaga dari kesalahan, tetapi dia adalah manusia biasa yang bisa salah dan benar, bisa adil dan pilih kasih. Menjadi hak kaum muslimin untuk meluruskan pemimpin yang berbuat salah dan melempangkan penyimpangannya.
Selanjutnya dalam hal kepemimpinan dalam urusan umum,
maka dalam hal ini timbul kontroversi, apakah seorang wanita dapat menjadi
pemimpin atas laki-laki?
Wanita juga manusia, sama seperti kaum laki-laki,
dituntut untuk beribadah kepada Allah, menegakkan agama-Nya, melaksanakan
kewajiban-Nya, menjauhi apa-apa yang dilarang-Nya, berdiri pada batasan-batasan
hukum-hukum-Nya, berdakwah dan melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar.
Setiap seruan Allah yang menetapkan syariat juga
meliputi diri wanita, kecuali jika ada dalil tertentu yang khusus bagi
laki-laki. Jika Allah berfirman, “Wahai manusia,” atau “Wahai orang-orang
mukmin,” maka wanita juga termasuk dalam seruan ini, dan tidak ada perbedaan
pendapat mengenai hal ini.
Namun, konsep dan implementasi kepemimpinn perempun
perspektif Islam secara umum masih menjadi kontroversi. Di satu pihak ada
pendapat yang tidak membolehkan perempuan menjadi pemimpin dalam urusan umum
dan di luar rumah tangganya, dan di satu pihak lagi ada yang membolehkan.
Dalam hal ini, penulis akan mengemukakan pendapat para
ulama mengenai hal tersebut, yaitu:
a. Pendapat yang Melarang
Jumhur ulama dalam memahami hadis dari Abi Bakrah secara tekstual bahwa berdasarkan petunjuk hadis tersebut tentang kepemimpinan wanita dalam urusan umum itu dilarang. Mereka berpendapat bahwa menurut petunjuk syara, perempuan hanya diberi tanggung jawab menjaga harta suaminya.[16]
Dalam hal ini ada dua landasan yang digunakan, yaitu landasan normatif yang melarang adalah dalil Abi Bakrah di atas dan ayat QS al-Nis± (4) : 34, serta landasan sosio-filosofis, yaitu:
- Faktor penciptaan fisik dan naluri. Perempuan diciptakan untuk mengemban tugas keibuan, mengasuh generasi penerus dan mendidiknya. Dalam hal ini perempuan memiliki perasaan yang peka dan emosional. Dengan naluri keperempuanan ini, mereka biasanya menonjolkan perasaan dan emosi daripada penalaran dan hikmah yang dimilikinya.
- Faktor kodrati berupa haid, hamil, melahirkan dan menyusui anak. Semuanya ini menyita fisik, psikis dan pemikiran perempun untuk tidak mampu mengemban tugasnya di luar rumah tangga. Jika perempuan terjun dalam kegiatan di luar rumah tangganya, akan menjadi demikian sibuknya dengan urusan-urusan luar, padahal anak-anak yang harus diasuhnya lebih layak mendapatkan perhatiannya.[17]
Kedua faktor tersebut merupakan akumulasi yang saling terkait dalam memperkuat argumentasi ketidakbolehan wanita menjadi pemimpin dalam urusan publik. Ada beberapa tanggapan dari ulama, antara lain:
1. Al-Razi menjelaskan bahwa kelebihan laki-laki meliputi dua hal, yaitu: ilmu pengetahuan (al-Ilm) dan kemampuan fisiknya (al-Qudrah). Menurutnya, akal dan pengetahuan laki-laki melebihi akal dan pengetahuan perempuan, bahkan dalam pekerjaan-pekerjaan keras dan berat, laki-laki lebih unggul.
2. Al-Zamakhsyari menjelaskan bahwa kelebihan laki-laki atas perempuan adalah karena akal (al-Aql), ketegasan (al-Hazam), tekadnya yang kuat (al-Azam), kekuatan fisik (al-Qudrah). Secara umum mereka memiliki kemampuan menulis (al-Kitabah) dan keberaniah (al-Syajaah).
3. At-Thabathabai berpendapat bahwa kelebihan laki-laki atas perempuan adalah karena ia memiliki kemampuan berpikir. Kemampuan ini akan melahirkan keberanian, kekuatan dan kemampuan mengatasi berbagai kesulitan, sedangkan perempuan lebih sensitif dan emosional.
4. Al-Khattaby mengatakan bahwa hadis Abi Bakrah mengisyaratkan bahwa perempuan tidak diperbolehkan menjadi seorang pemimpin atau seorang hakim. Hal ini adalah konsekuensi logis dari ketentuan hukum Islam yang tidak membolehkan perempuan menikahkan dirinya sebagaimana ia tidak bisa menikahkan perempuan lain.[18]
5. Dr. Rabi’ menjelaskan bahwa orang laki-laki tetap memiliki beberapa kelebihan yang tidak disamai wanita. Islam melebihkan laki-laki atas wanita sejak lahirnya. Islam mensyariatkan aqiqah bagi anak laki-laki dengan menyembelih dua ekor domba, sedangkan wanita cukup seekor saja; selagi keduanya masih bayi, maka kencing bayi wanita harus dicuci, sedangkan kencing bayi laki-laki cukup diperciki air saja; pembagian warisan.[19]
Pendapat-pendapat di atas yang melarang perempuan tidak diperbolehkan berdasarkan teks hadis tersebut. Sedangkan ayat QS al-Nis± (4) : 34 dipahami sebagai otoritas kepemimpinan laki-laki terhadap perempuan secara umum, bukan dalam lingkungan rumah tangga saja.
b. Pandangan yang Membolehkan
secara kontekstual hadis tersebut dipahami dengan berbagai pendekatan historis dari asbab al-wurud . Hadis ini, ketika Rasul mendengar dari sahabatnya tentang pengangkatan perempuan menjadi Ratu di Persia.[20] Pada saat itu kaum perempuan tidak setara dengan laki-laki. Perempuan tidak dipercaya ikut serta mengurusi kepentingan masyarakat umum, terutama dalam masalah kenegaraan. Kondisi seperti ini berlaku juga di jazirah Arab dan negara lainnya.
Kalangan mufassir kontemporer melihat ayat QS al-Nis± (4) : 34 dengan memahami bahwa otoritas kepemimpinan laki-laki terhadap perempuan berkaitan dengan masalah rumah tangga saja bukan dalam urusan umum.
Menurut M. Quraish Shihab, bahwa secara umum QS al-Taubah (9) : 71 merupakan gambaran tentang kewajiban melakukan kerjasama antara lelaki dan perempuan dalam berbagai bidang kehidupan yang ditunjukkan dengan kalimat “menyuruh mengerjakan yang ma’ruf dan mencegah munkar.”[21]
Mengenai persyaratan kepemimpinan yang membolehkan kepemimpinan perempuan, menurut Mazhab Hanafi dan Ibn Hazm al-Zahir mengemukakan bahwa persyaratan lelaki bukan mutlak untuk kekuasaan kehakiman. Perempuan boleh saja menjadi hakim. Akan tetapi ia hanya mengadili perkara di luar pidana berat (kedudukan qi¡as). Hal ini karena perempuan dibenarkan menjadi saksi untuk perkara-perkara tersebut.[22]
Pendapat Ibn Jarir al-°abary dan al-Hasan Basri menyatakan bahwa perempuan boleh menjadi hakim untuk menangani berbagai perkara, laki-laki tidak menjadi syarat bagi kekuasaan kehakiman. Bagi mereka, jika perempuan bisa menjadi mufti, maka logis kalau ia juga menjadi hakim. Tugas mufti adalah menjelaskan hukum-hukum agama melalui analisis ilmiah dengan tanggung jawab personal. Sementara hakim juga mempunyai tugas yang sama, tetapi dengan tanggung jawab negara atas dasar kekuasaan negara.[23]
Menurut Marwah Daud Ibrahim, sebagaimana dikutip Nana Nurliana bahwa dalam kenyataannya, sebenarnya wanita dan laki-laki pada dasarnya sama cerdas otaknya; sama mulia budinya; sama luhur cita-citanya. Mereka sama-sama memiliki impian dan harapan; mereka juga sama-sama didera oleh kekhawatiran dan ketakutan; sama-sama memiliki potensi untuk memimpin.[24]
Pendekatan perbandingan dapat digunakan untuk melihat kapasitas hadis Abi Bakrah dengan membandingkan QS al-Taubah (9) : 36, yaitu pertama-tama dilihat perbandingan maknanya dari segi kejelasan (¡arih) pesannya. Hadis tersebut hanya berupa pernyataan yang tidak tegas melarang. Sedangkan ayatnya jelas (¡arih) yang menyatakan bahwa orang mukmin laki-laki saling memimpin dengan hakikat amar ma’ruf nahi munkar. Dengan demikian, kesemua isyarat tentang ketidakbolehan perempuan menjadi pemimpin menurut hadis Abi Bakrah menjadi lemah ketika dihadapkan dengan ketegasan tentang kebolehannya menurut QS al-Taubah (9) : 36.[25]
Demikianlah beberapa pendapat ulama tentang kebolehan wanita menjadi pemimpin dalam urusan publik, yang kesemuanya memiliki dasar dan argumen.
6. Pemahaman Tekstual dan Kontekstual
hadis ini memberikan penjelasan bahwa tidak boleh sama sekali diberikan tanggung jawab pemerintahan kepada wanita berdasarkan asbab al-wurud hadis ini, yaitu pengangkatan wanita sebagai ratu
Tanggapan ini berdasar bahwa hadis Abi Bakrah adalah dalil atas ketidakbolehan wanita memimpin wilayah tertinggi (‘u«ma) dan lainnya berupa kepemimpinan-kepemimpinan besar. Karena hadis itu umum, lafalnya qaumum itu mencakup setiap kaum, dan lafal imra’ah mencakup setiap wanita, maka mereka tidak beruntung.
Untuk memahami hadis tersebut, perlu dikaji terlebih dahulu keadaan yang sedang diangkat berkembang pada saat hadis itu disabdakan oleh Nabi. Hadis ini disabdakan takkala Nabi mendengar dari sahabat tentang mengangkat wanita menjadi Ratu di daerah Persia kala itu, dan peristiwa suksesi itu terjadi pada tahun 9 H.[26]
Kontekstual hadis ini memberikan gambaran bahwa kondisi pada saat itu kualitas wanita pada umumnya kurang berpendidikan disebabkan oleh budaya atau kondisi sosial kemasyarakatan yang masih menganggap wanita sebagai penanggung jawab di rumah tangga yang tidak diperkenankan keluar rumah untuk menuntut ilmu. Hal ini dikarenakan ketika wanita waktunya banyak di luar rumah maka itu dianggap suatu aib.
Berdasarkan metode pendekatan sosial kemasyarakatan pada era modern ini ternyata telah berubah, karena telah didapatkan wanita yang kadang telah memiliki tingkat intelektualitas yang lebih dari laki-laki. Maka penulis menyimpulkan bahwa hadis tersebut dengan pemahaman kontekstual dengan menggunakan metode sosiologi sudah tidak relevan dengan kondisi sekarang.
Pada zaman sekarang ini banyak wanita diberi peluang kerja yang tidak pernah dikenal pada zaman dahulu. Sekarang didirikan sekolah dan lembaga-lembaga pendidikan yang menampung pelajar putri, yang kemudian bisa menghasilkan para guru, dokter, pengawas, akuntan dan sebagainya. Bahkan sebagian di antara mereka ada yang menjadi direktur berbagai perusahaan, berapa banyak pegawai laki-laki di koperasi atau organisasi yang ketuanya wanita atau dimiliki seorang wanita. Bahkan terkadang sang suami menjadi anak buah isterinya di tempat kerja, namun sang isteri menjadi anak buah ketika sudah kembali ke rumahnya.
redaksi hadis Abi Bakrah ini tidak bersifat umum. secara utuh, ditujukan kepada masyarakat Persia ketika itu, bukan semua urusan masyarakat. tidak ditemukan satu pun dipahami sebagai larangan perempuan terlibat dalam politik, atau membatasi hanya untuk lelaki.
7. Kandungan Hadis
Kandungan hadis ini membicarakan tentang penyerahan kepemimpinan kepada wanita. Terlepas dari itu apakah berkaitan dengan kondisi sosial atau tidak dapat menyebabkan interpretasi yang sangat variatif dari mana aspek setiap orang memandangnya.
B.
Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan dalam makalah ini dapat diketahui bahwa dalam hal kepemimpinan wanita dalam urusan publik, para ulama berpendapat bahwa dibolehkan atau dilarang. Hal ini terjadi akibat adanya interpretasi dan pendekatan yang dipergunakan dalam memahami hadis dan ayat mengenai kedudukan wanita dalam urusan publik.
DAFTAR PUSTAKA
Al-An¡±riy,
Jam±luddin Muhammad bin Mukarram. Lis±n al-Arabi. Juz III. t.tp.: D±r
al-Mi¡riyah Lita’l³fi wa Tarjamah, t.th.
Al-Asqalaniy,
Imam al-Hafi§ al-Haj Syih±buddin al-Fa«l Ahmad bin Ali bin Hajar. Tah©³b
al-Tah©³b. Juz VII. Bairut: D±r al-Kutb al-Ilmiyah, 1415 H/1993 M.
--------
Fath al-B±ry, Juz VIII. Beirut: D±r al-Fikr, 1993.
--------
Tah©³b al-Tah©³b. Juz VIII. Bairut: D±r al-Kutb al-Ilmiyah, 1415 H/1993
M.
--------
Tah©³b al-Tah©³b. Juz XII. Bairut: D±r al-Kutb al-Ilmiyah, 1415 H/1993
M.
Al-Bukhary, Abi Abdillah Muhammad bin Ism±il bin
Ibr±him bin al-Mug³rah bin Bardzbah. ¢ahih al-Bukhary. Juz V. Bairut:
D±r al-Kutb al-Ilmiyah, 1412 H/1992 M
CD
Digital Masah al-Hadi£ al-Syar³f. Versi 2. Tahun 1992-1997.
Departemen
Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: PT. Serajaya Santra, 1986.
Al-Hambaly,
Abu al-Falah Abd al-Hayy bin al-Imad. Sya«rat al-¬ahab fi Akhbar man ¬ahab.
Jilid I. Beirut: Dar al-Fikr, 1979.
Hasyim,
Syafiq. Kepemimpinan Perempuan dalam Islam. t.tp, t.th.
Jaiz,
H. Hartono Ahmad. Polemik Presiden Wanita dalam Tinjauan Islam. Cet. I;
Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1998.
Al-Jaz±riy,
Izaddin bin al-U£air±biy al-Hasan ‘Ali bin Muhammad. Asad al-G±bah fi
Ma’rifah al-¢ahabah. Juz VI. Bairut: D±r sl-Kutb al-Ilmiyah, t.th.
Al-Kahlany,
al-Sayyid al-Imam Muhammad bin Ismail. Subul al-Salam: Syarh Buluq al-Maram
min Jami’ Adillat al-Ahkam. Juz IV. Beirut: D±r al-Kutub al-Ilmiyah, t.th.
Rasdiyanah, A. Fiqh Perempuan. Makalah yang Disajikan pada Pertemuan Majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam PW. Muhammadiyah Sulawesi Selatan. Pada Ahad, 13 Juli 2003 di Kompleks Perguruan Muhammadiyah Mamajang-Makassar.
Shihab,
M. Quraish. Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat. Cet. XIX; Bandung: Mizan, 1999.
Shihab,
M. Quraish. Membumikan Al-Quran. Cet. III; Bandung: Mizan, 1996.
Soeyono,
Nana Nurliana. “Wanita sebagai Pemimpin: Suatu Tinjauan Hostoris” dalam
H. M. Atho Mudzhar, et. al.(ed), Wanita dalam Masyarakat Indonesia: Akses,
Pemberdayaan dan Kesempatan. Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.
Yunus,
Mahmud. Kamus Arab-Indonesia. Jakarta: Yayasan Penyelenggara
Penterjemahan/Pentafsiran Al-Qur’an, 1973.
Zakariyyah,
Abi al-Husain Ahmad bin F±risi bin. Mu’jam Maq±yis al-Lugat. Juz II
Bairut: D±r al-Fikr, 1970 M/1390 H.
[1]Abu Abdillah Syams
al-Din Muhammad al-ªahaby, Ta©kirat al-Huffa§, Juz II (Beirut: D±r
al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th.), h. 555. Lihat Jamaluddin Abi al-Hajjaj Yusuf
al-Mizzy, Tah©ib al-Kamal fi Asma al-Rijal, Jilid XXIV (Cet. I; Beirut:
D±r al-Fikr, 1994 M/1414 H), h. 430-467. Lihat Ahmad Husnan, Kajian Hadis
Metode Takhrij (Cet. II; Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1993), h. 18-20.
Lihat pula H. Kafrawi Ridwan, et. al., Ensiklopedi Islam, Bag. I (Cet.
III; Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), h. 295-296.
[2]Imam al-Hafi§ al-Haj
Syih±buddin al-Fa«l Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalaniy (selanjutnya disebut
al-Asqalaniy), Tah©³b al-Tah©³b, Juz VII (Bairut: D±r al-Kutb
al-Ilmiyah, 1415 H/1993 M), h. 139.
[3]Ibid., Juz VIII, h. 142-143.
[4]Ibid., Juz II, h. 243-248.
[5]Ibid., Juz XII, h. 41.
[6]‘Izaddin bin
al-U£air±biy al-Hasan ‘Ali bin Muhammad al-Jaz±riy, Asad al-G±bah fi
Ma’rifah al-¢ahabah, Juz VI (Bairut: D±r sl-Kutb al-Ilmiyah, t.th.), h. 35.
[7]Ibid.
[8]CD Digital Masah
al-Hadi£ al-Syar³f, Versi 2, tahun 1992-1997.
[9]Al-Asqalaniy, Fath
al-B±ry, Juz VIII (Beirut: D±r al-Fikr, 1993), h. 470-472. Lihat pula
Al-Sayyid al-Syarif Ibrahim bin Muhammad ibn Hamzah al-Husainy, al-Bay±n wa
al-Ta’rif fi Asb±b Wurud al-Hadi£ al-Syarif
(Kairo: D±r al-Tura£ al-‘Arabi, t.th.), h. 127-128.
[10]Ibid., Fath al-Bary, h. 82.
[11]Mahmud Yunus, Kamus
Arab-Indonesia (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemahan/Pentafsiran
Al-Qur’an, 1973), h. 323.
[12]Jam±luddin Muhammad bin
Mukarram al-An¡±riy, Lis±n al-Arabi, Juz III (t.tp.: D±r al-Mi¡riyah
Lita’l³fi wa Tarjamah, t.th), h. 380.
[13]Abi al-Husain Ahmad bin
F±risi bin Zakariyyah, Mu’jam Maq±yis al-Lugat, Juz II (Bairut: D±r
al-Fikr, 1970 M/1390 H), h. 137.
[14]Departemen Agama RI., Al-Qur’an
dan Terjemahnya (Jakarta: PT. Serajaya Santra, 1986), h. 123.
[16]Al-Asqalaniy, Fath …, op. cit., h. 128. Bandingkan al-Sayyid al-Imam Muhammad bin Ismail al-Kahlany, Subul al-Salam: Syarh Buluq al-Maram min Jami’ Adillat al-Ahkam, Juz IV (Beirut: D±r al-Kutub al-Ilmiyah, t.th.), 123.
[17]A. Rasdiyanah, Fiqh
Perempuan, Makalah yang disajikan pada pertemuan Majlis Tarjih dan
Pengembangan Pemikiran Islam PW. Muhammadiyah Sulawesi Selatan, pada Ahad, 13
Juli 2003 di Kompleks Perguruan Muhammadiyah Mamajang-Makassar, h. 17-18.
[18]Ibid., h. 18.
[19]H. Hartono Ahmad Jaiz, Polemik
Presiden Wanita dalam Tinjauan Islam (Cet. I; Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
1998), h. 30-31.
[20]Abu al-Falah Abd al-Hayy
bin al-Imad al-Hambaly, Sya«rat al-¬ahab fi Akhbar man ¬ahab, Jilid I
(Beirut: Dar al-Fikr, 1979), h. 13.
[21]M. Quraish Shihab, Membumikan
Al-Quran (Cet. III; Bandung: Mizan, 1996), h. 315.
[22]A. Rasdiyanah, op.
cit., h. 22.
[23]Syafiq Hasyim, Kepemimpinan
Perempuan dalam Islam (t.tp, t.th.), h. 42.
[24]Nana Nurliana Soeyono, “Wanita
sebagai Pemimpin: Suatu Tinjauan Hostoris” dalam H. M. Atho Mudzhar, et.
al.(ed), Wanita dalam Masyarakat Indonesia: Akses, Pemberdayaan dan
Kesempatan (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), h. 291.
[25]A. Rasdiyanah, op.
cit., h. 22.
[26]Abu al-Falah Abd al-Hayy
bin al-Imad al-Hambaly, op. cit., h. 13.
[27]Al-Asqalaniy, Fath
al-B±ry, Juz VIII, op. cit., h. 128.
- Get link
- Other Apps
Comments
Post a Comment